Dari sekitar 11.304 Program Studi yang diselenggarakan oleh lebih dari
3.000 Perguruan Tinggi Swasta, ternyata ribuan diantaranya dinyatakan
sudah habis ijin operasionalnya (data per-Maret 2010 menunjukkan ada
3.285 Prodi). Ratusan kadaluarsa bulan ini, dan lebih dari 2.500 Program
Studi kadaluarsa tahun ini. Sadarkah Anda kalau Anda mungkin kuliah di
kampus yang ilegal? Atau ijasah yang Anda dapatkan tidak sah dan tidak
dapat diakui? Analisis data yang saya lakukan terhadap data-data
Perguruan Tinggi Swasta selama satu bulan terakhir memberikan hasil yang
mengejutkan dan sekaligus mengkhawatirkan.
Sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bagi
masyarakat, Perguruan Tinggi Swasta (PTS) tentu saja harus memiliki ijin
operasional. Ijin ini dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan Nasonal. Ijin operasional
ini diberikan kepada SETIAP program studi yang dimiliki oleh PTS dan
harus diperbaharui secara berkala. Artinya, PTS yang menyelenggarakan
perkuliahan tanpa ijin dari Dikti (atau ijin operasinya sudah habis masa
berlakunya) adalah ilegal, melanggar hukum. Tentu saja kita semua tidak
akan mau kuliah di kampus seperti ini.
Demi menjaga mutu perkuliahan, sekaligus mutu lulusannya, setiap
program studi harus menjalani penilaian melalui proses akreditasi. Untuk
perguruan tinggi, hal ini dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN-PT). Hasilnya adalah peringkat akreditasi yang
dinyatakan dengan huruf A, B, C, atau D (tidak terakreditasi). Peringkat
ini punya masa berlaku (saat ini 5 tahun) dan bisa kadaluarsa.
Akreditasi ini sendiri didasarkan pada berbagai macam aspek penilaian,
seperti misalnya jumlah dosen, fasilitas kampus, standard pelayanan
kampus, dll.
Dulu, akreditasi ini sifatnya hanyalah sekedar pilihan bagi perguruan
tinggi. Artinya, selama memiliki ijin operasional yang sah dan masih
berlaku, tidak ada masalah. Tetapi Peraturan Pemerintah (PP) no. 19
tahun 2005 mengubah hal itu. PP tersebut mengatur bahwa mulai tahun
2012, PROGRAM STUDI YANG TIDAK MEMILIKI AKREDITASI TIDAK BOLEH
MENERBITKAN IJAZAH. Tidak terakreditasi berarti program studi belum
pernah menjalani proses akreditasi, atau sudah menjalani prosesnya
tetapi dinyatakan tidak memenuhi syarat minimum.
Parahnya lagi, ada beberapa perguruan tinggi swasta terkemuka di
Jakarta (karena alasan kode etik tidak dapat saya sebutkan) yang
menyelenggarakan program studi tertentu tetapi belum memperoleh status
akreditasi. Hal ini tentu menjadi sebuah kerugian besar bagi para
mahasiswanya yang apabila sampai saat kelulusannya, program studi di
kampusnya belum mendapat akreditasi. Hal ini otomatis membuat ijazah
para mahasiswa tersebut tidak dapat diakui keabsahannya secara hukum.
Atau dengan kata lain, perguruan tinggi mengeluarkan Ijazah Bodong. Akan
tetapi lucunya, terjadi perbedaan persepsi antara Kemendiknas dan
Ditjen Dikti dalam hal ijin penyelenggaraan program studi. Pihak Dikti
menyatakan bahwa PTS boleh menyelenggarakan prodi dan mengeluarkan
ijazah kepada mahasiswa selama telah mengantongi ijin dari Kemendiknas,
sementara dari pihak Kemendiknas yang saya konfirmasi melalui email
menyatakan bahwa; PTS yang hanya mengantongi ijin Kemendiknas hanya bisa
menyelenggarakan prodi akan tetapi tidak diperkenankan mengeluarkan
ijazah bagi mahasiswa. Ini sungguh menggelikan sekaligus ironi.
Perbedaan persepsi ini lagi-lagi adalah buntut dari adanya
ketumpang-tindihan peraturan yang ada di antara lembaga-lembaga yang
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi, hal ini
juga merupakan bukti dari masih berbelit-belitnya birokrasi yang
dicerminkan dari banyaknya kecarut-marutan pelaksanaan proses akreditasi
yang (masih) belum transparan. Ada baiknya pemerintah, atau dalam hal
ini pihak Kemendiknas, Dikti, dan Badan Akreditasi Nasional, saling
mensinergikan upaya mereka dalam hal meningkatkan kualitas pelayanan
khususnya dalam memperbaiki sistem dan transparansi proses akreditasi
bagi para perguruan tinggi di seluruh penjuru negeri, serta menindak
tegas perguruan tinggi swasta nakal, yang hanya mengejar profit dari
penjaringan mahasiswa tanpa mengedepankan aspek legalitas ijin dan mutu
pelayanan. Kebobrokan yang diawali dari ketumpang-tindihan sistem
semacam inilah yang kelak harus segera dibahas secara komprehensif dan
mendalam supaya bisa dicarikan solusi secepatnya, sebab bukan tidak
mungkin ada jutaan sarjana di luar sana yang mengantongi ijazah bodong
alias tidak sah di mata hukum.
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment